Islam sebagai agama tidak hanya
membahas hubungan dengan tuhan, tapi juga membicarakan hubungannya dengan
sesama. Hubungan antar manusia diatur dengan baik di dalam al-Quran. Al-Quran
sebagai kitab suci menjadi pedoman terbentuknya aturan-aturan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Allah SWT melalui al-Quran berusaha
menciptakan masyarakat yang teratur dan berperadaban. Dengan terciptanya
masyarakat yang mapan perdabannya, masyarakat muslim mampu menjadi pribadi yang
bermartabat dan memiliki ketahanan ekonomi yang kuat. Agar terwujudnya
ketahanan ekonomi, Islam mengatur asas ekonomi berbasis keadilan dan
transparan.
Maka Islam sangat mengatur benar
sistem tansaksi yang terjadi di masyarakat. Jual beli yang merupakan satu
mekanika yang mengarah ke situ. Al-quran tidak luput membahas tentang perihal
tersebut. Namun sudah menjadi gaya al-Quran, hanya mengupas secara umum.
Penjelasan secara detail dijelaskan
Rasullah SAW, karena beliau diutus sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Quran.
Jual-beli yang ditawarkan al-Quran berdasarkan asas keadilan bersama. Namun
dalam perjalannya, masyarakat muslim tidak memahami betul prinsip-prinsip
jual-beli yang dijelaskan al-Quran dan as-sunnah.
Dampaknya masyarakat banyak melakukan
praktek-praktek transaksi yang mengarah pada penyimpangan. Sehingga hanya
mengakibatkan kerugian dari salah satu pihak, praktek semacam itu banyak
penulis jumpai di sekitar masyarakat. Salah satunya adalah praktek jual-beli
sapi glonggongan.
Hal itu mendorong penulis untuk
membahas ayat-ayat yang terkait jual-beli dan kaitanyya dengan praktek
penjualan sapi glonggongan.
1.
Legitimasi Kehalalan Bai’ (jual-beli)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikan itu, adalah disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (al-baqoroh:275).
Sebab
Turunnya Ayat
Kaum Tsaqif,
penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulallah SAW bahwa semua
hutang mereka demikian juga piutang (tagihan) yang berdasarkan riba agar
dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah,
Rasulallah SAW menunjuk ‘Itab bin Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi
kawasan Thaif. Bani Amr bin Umar yang adalah orang biasa meminjamkan uang
secara riba kepada Bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan senantiasa Bani
Mughirah membayarkannya.
.Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekeyaan yang banyak. Karenanya
datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani
Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada ‘Itb bin Usaid dan beliau
menulis surat kepada rasulallah. Maka turunlah ayat ini. Rasulallah SAW lalu
menulis surat balasan yang isinya “Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT
di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah
perang kepada mereka.
Allah SWT
dalam ayat di atas mengatakan dengan tegas kebolehan jual beli dan keharaman
riba. Dan mengancam pelaku riba kekal di dalam neraka. Berdasarkan asbabun
nuzul tersebut, tampak jelas sikap rasulallah terhadap orang-orang yang masih
melakukan praktek riba.
Nabi memberi
mereka ultimatum perang jika tetap melanggar peringatan beliau. Hal ini
menunjukan agar orang Islam selalu melakukan praktek bai’ yang sesuai tuntutan
Allah SWT.
Jual beli dan
riba diibaratkan sisi mata uang. Sehingga banyak orang yang melakukan praktek
jual beli, tapi justru terjebak dalam praktek riba yang dilarang oleh agama.
Padahal keduanya memiliki substansi yang sungguh berbeda.
2. Pengertian
Jual Beli (Bai’)
Kata ba’i
bentuk mufrad dari lafadz buyu’, yang secara bahasa adalah menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Sedangkan bai; menurut istilah adalah memberikan hak
kepemilikan harta dengan adanya penukar dan cara-cara yang dilegalkan syariat.
Jual beli
merupakan suatu bentuk transki pemindahan kepemilikan dari satu orang ke orang
lain. Al-Quran mengatur praktek tersebut agar satu sama lain tidak ada yang
dirugikan. Karena memang ajaran Islam menghendaki terciptanya tatanan
masyarakat yang jauh dari nilai-nilai jahiliyah. Dimana sistem ekonomi dibangun
berdasarkan riba, jauh dari ajaran yang disampaikan al-Quran.
Riba merupakan sisitem
jahiliyah yang membawa kesengsaraan rakyat. Sedangkan aturan-aturan yang dibangun al-Quran
menghantarkan umat manusia pada kehidupan yang cerah dan adil.
Jual beli
adalah transaksi yang memberi keuntungan kepada penjual dan pembeli, sedangkan
riba merugikan salah satu pihak. Keuntungan jual beli berdasarkan usaha manusia,
dan aktivitas manusia. Jual beli mengandung kemungkinan untung dan rugi,
tergantung kepandaian mengelola harta dagannyya.
Berbeda dengan
riba, keuntungan yang didapatkan tidak melalui usaha manusia, tidak menuntut
adanya aktivitas manusia dan tidak ada kemungkinan untung dan rugi. Riba hanya
menguntungkan salah satu pihak saja.
3. Etika
Jual Beli
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ
بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا
وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الانعام: 152)
“Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara terbaik, hingga dia
mencapai kedewasaannya. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan bil qist
(dengan adil). Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai
kemampuannya. Dan apabila kamu berucap, maka berlaku adillah, kendati pun dia
adalah kerabatm(-mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepada kamu agar kamu terus ingat.”
Ayat di atas
mengandung beberpa larangan, diantaranya adalah larangan untuk mengurangi takaran
atau timbangan. Ini diisratkan oleh Allah dengan kata-kata “Sempurnakanlah
takaran dan timbangan bi al-qisth, yakni dengan adil, sehingga kedua belah
pihak yang menimbang dan yang ditimbangkan untuknya merasa senang dan tidak
dirugikan.
Allah SWT dalam ayat tersebut
menggunakan bentuk perintah-bukan larangan- menyangkut takaran dan timbangan (wa
auful kaila wal mizana bil qisth). Thahir ibn Asyur mengatakan bahwa hal
tersebut memberikan isyarat mereka dituntuk untuk menyempurnakan timbangan dan
takarannya. Sehingga mereka tidak hanya berusaha untuk tidak mengurangi, tetapi
perhatiaannya juga pada penyempurnaannya.
Kata (بِالْقِسْط) bukan hanya sebatas berlaku adil antara
kedua pihak yang bertransaksi, namun mengandung makna rasa senang di antara
keduanya. Yang artinya timbangan atau takaran harus menyenangkan kedua belah
pihak. Jadi kaitannya dengan jual beli, penjual maupun pembeli keduanya harus
jujur, tidak boleh adanya tindak kecurangan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا. وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ
عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (النساء:29-30)
Penggunaan kata makan untuk melarang perolehan harta secara batil dikarenakan kebutuhan pokok masyarakat adalah makan. Kalau makan yang merupakan kebutuhan pokok itu terlarang memperolehnya dengan batil. Tentu lebih terlarang lagi bila memperoleh dengan batil menyangkut hal yang bersufat skunder atau tertier.
Kata أَمْوَالَكُمْ amwalukum yang dimaksud adalah
harta yang beredar dalam masyarakat. Di mana dalam surat an-Nisa juga disebutkan term amwalukum yang menunjukan
bahwa harta yang beredar di masyarakat bertujuan untuk menghasilkan manfaat
bagi masyarakat.
Semua pihak baik yang membeli dengan harta tersebut hendak
mendapatkan untung, demikian pula penjual, demikian juaga penyewa dan yang
menyewakan barang. Karena harta yang tersebar di masyarakat dijadikan sebagai
pokok kehidupan manusia.
Dhomir (kum) yang disandarkan
pada lafdz amwal menunjukan akan fungsi sosial harta. Hal itu mengundang
adanya kerja sama dan tidak saling merugikan. Karena dalam berbisnis hendaknya
kedua belah pihak berada di tengah. Inilah yang disisyaratkan oleh ayat di atas
dengan kata ( .(بينكم
Maka Allah menetapkan neraca dan memerintahkan
untuk menegakkannya bil qisth, bukan bil ‘adl. “Allah telah meninggikan langit
dan dia meletakan neraca, dan tegakanlah timbangan itu dengan qisth dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu (QS. Ar-Rahman [55] :9)
Menegakan neraca dengan qisth menjadikan
kedua belah pihak tidak mengalami kerugian, bahkan masing-masing memperoleh apa
yang diharapkannya.
Sementara Thabathaba’I menangkap kesan lain dari kata bainakum.
Menurutnya, kata tersebut mengandung arti adanya himpunan harta di antara
mereka. Dilarangnya memakan harta di antara mereka, memberi petunjuk bahwa
memakan harta orang lain secara batil itu adalah melakukan sebuah transaksi
yang yang mengantarkan pada kehancuran dan kebejatan seperti praktik riba,
perjudian, jual beli yang mengandung penipuan dan lain-lain.
Rasulallah juga menegaskan adanya larangan jual beli
yang mengandung unsur penipuan, bahkan orang yang melakukan tindakan tersebut
tidak dianggap golongan beliau. Sebagaimana beliau bersabda dalam sebuah hadits:
أن أبا قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من غشنا فليس منا
“Dari Abu al-Hamra, ia berkata:
rasulallah Saw bersabda: Barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan
(golongan) kami.”(HR. Ibnu Majah)
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abi Hurairah bahwasanya
rasulallah pernah lewat di depan seorang laki-laki yang menjual makanan, dan
bertanya kepadanya: “bagaimana cara engkau menjual?” Orang itu pun
memberitahukannya. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau: “masukan tanganmu dalam
makanan itu,” dan Nabi Muhammad pun memasukan tangannya, ternyata beliau
mendapati sesuatu yang lembab. Maka bersabdalah beliau: “Bukan dari (golongan)
kami siapa saja yang menipu kami.”
Ayat diatas (QS. An-Nisa) menekankan
juga keharusan mengindahkan peraturan-peraturan yang ditetapkan dan tidak
melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat diatas dengan (al-bathil) yakni
pelanggaran terhadap ketentuan agama/persyaratan yang telah disepakati. Dalam
konteks ini, nabi bersabda, “kaum muslim sesuai dengan (harus menepati) syarat-syarat
yang mereka sepakati, selama tidak menghalalkan yang haram/mengharamkan yang
halal.
Selanjutnya ayat diatas menekankan
juga keharusan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya
dengan (‘an taraadhim minkum). Sebagian ulama mengatakan bahwa kerelaan adalah
sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat.
Ijab dan qabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat istiadat sebagai serah
terima, adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukan kerelaan.
Sedangkan Imam Alusi berpendapat bahwa
taradhi adalah kerelaan akan apa yang telah disepakati atau diakadi oleh
kedua belah pihak. Syafi’iyah dan malikiyah menggambarkan kerelaan itu ketika
kedua belah pihak telah berpisah dari tempat transaksi. Maka unsur kerelaan
menjadi sangat urgent dalam terlaksanya sebuah transaksi.
4.
Jual Beli Sapi Glonggongan
Daging
glonggongan adalah daging yang berasal dari sapi yang sesaat sebelum disembelih
diberi minum sebanyak-banyaknya untuk menambah berat daging ( Murhadi,
2009).
Ada dua jenis
daging sapi glonggongan. Antara lain adalah a) daging yang berasal dari
sapi glonggongan dimana pengglonggongan dilakukan sebelum sapi mati, b) daging
yang berasal dari daging glonggong dimana pengglonggongan dilakukan setelah
sapi mati. Yang baik dilakukan sebelum atau sesudah sapi mati, sama mengandung
air yang banyak.
Praktek
tersebut dilakukan oleh para pedang sapi agar mendapatkan keuntungan yang
besar. Daging sapi yang telah diglonggong, tentunya bobot daging sapi menjadi
semakin berat karena banyak kandungan air di dalamnya. Sehingga pedagang bisa
menjual daging sapi melebihi bobot standarnya. Dari sini mereka dapat meraup
laba yang banyak.
Kasus ini
terjadi di berbagai daerah seperti di Magelang Jawa Tengah. Petugas gabungan dari Dinas Peternakan, Satpol PP, dan kepolisian menggelar razia di sejumlah pasar tradisional
Magelang saat menjelang lebaran. Mereka menemukan daging glonggongan yang jumlahnya mencapai lebih dari 2 kuintal.
Menurut Kabid Peternakan Dinas Peternakan Magelang Hadiyono razia tersebut dilakukan agar masyarakat
terhindar dari pedagang nakal. Dan rencananya,
daging sapi glonggongan akan dimusnahkan. Sedangkan, kasusnya masih diproses
kepolisian (Detik.com, Kamis, 25/07/2013 09:40).
Penjualan dengan cara ini, hanya mementingkan keuntungan
salah satu pihak, dalam hal ini penjual. Penjual berusaha meraih laba yang
besar, tapi dengan menghalalkan segala cara. Bagaimana ia memanipulasi bobot
timbangan daging sekiranya menjadi berat.
Sebaliknya
bagi pembeli, ia merasa apa yang telah dibelinya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkannya. Harapannya, daging yang telah dibelinya memiliki kualitas yang
bagus. Namun dengan adanya praktek pengglonggongan, transaksi tersebut membawa
kerugian bagi pembeli.
Kerugian
tersebut menyebabkan kekecewaan dari salah satu pihak. Sehinga tidak adanya perasaan
saling senang antara keduanya. Padahal al-Quran telah mengajarkan kepada umat
Islam dalam bertransaksi dengan orang lain harus transaparan dan jauh dari
penipuan.
Transparan
dan sikap jujur merupakan bentuk etika transaksi yang dilegalkan syara’. Ini
diisyaratkan Allah dengan kata-kata al-qisth
dalam surat al-maidah: 152.
Di samping
adanya penipuan dalam paktek ini, penjualan sapi golonggongan bisa menimbulkan
adanya bahaya. Karena gizi yang terkandung di dalamnya sangat kurang. Nabi
Muhammad sendiri telah menghimbau kepada umatnya agar tidak menebarkan bahaya
kepada orang lain. Nabi Muhammad sendiri telah
memperingatkan kepada umat Islam bahwa tidak boleh menimbulkan bahaya baik
kembali ke diri sendiri atau orang lain.
Hal itu disisyaratkan oleh
hadits nabi: (لا ضرار ولاضرلر) “tidak diperkenankan membahayakan
(diri sendiri) dan membahayakan orang lain. Praktek jual beli daging sapi
tersebut, bias memberikan dampak negative pada kesehatan.
Sehingga
menjadi jelas bahwa praktek jual beli sapi glonggongan bersebrangan menerjang
aturan syari’at. Sebab praktek tersebut mengandung penipuan, ketidakjujuran,
dan adanya bahaya kesehatan.
KOMENTAR