Pada zaman nabi Muhammad tidak
mengenal istilah term tasawuf atau sufisme. Namun prilaku sufisme sebenarnya sudah
ada pada zaman nabi, karena tasawuf sendiri merupakan implementasi lanjut dari
teks-teks al-Qur’an. Banyak ayat al-Qur’an yang secara implisit menyinggung
prinsip-prinsip ajaran dalam tasawuf seperti tawakal, sabar, zuhd dan
lain-lainnya.
Sebagai muslim yang telah
mengabdikan sepenuh hidupnya untuk agama allah, maka sendirinya berupaya
merealisasikan tuntutan-tuntutan moral di atas ke dalam kehidupan
sehari-harinya.Dalam perekembangannya,orang-orang yang lebih mengabdikan dirinya demi
kehidupan akhirat dan mengesampingkan keasikan duniawi disebut sufi yang
ajarannya dinamai tasawuf.
Ajaran tasawuf yang kita jumpai sekarang, dengan bentuk
jamaah (kongresi), mempunyai struktur serta hirarki sebagaimana layaknya sebuah
kumpulan masyarakat yang terorganisasi merupakan salah satu bentuk dari
perkembangan tasawuf yang ada di era modern ini. Perkembangan tasawuf yang
begitu pesat hingga saat ini, membuat penulis bertanya-tanya sendiri dalam hati
dan mendorong untuk mengetahui perkembangannya lebih mendalam.
Fase Perkembangan Tasawuf
1.
Fase awal
Tasawuf merupakan perkembangan lanjut dari
dari kesalehan asketis, sehingga fase awal tasawuf lebih tepat disebut sebagai
fase asketisme. Dan lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk
amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan
tidur dan lain sebagainya. Amaliah tersebut dilakukan untuk mengkhususkan diri
beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah.
Pada fase ini, fenomena asketisme yang cukup
menonjol dilakukan oleh para sahabat yang berkumpul di Masjid Nabi. Mereka
adalah sekelompok kaum muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di Madinah.
Cara hidup saleh dalam kesederhanaan yang diperagakan kelompok itu, kemudian menjadi
panutan bagi sebagian umat Islam yang kemudian disebut sufi dan ajarannya
dinamai tasawuf.
2. Fase kedua
Kehidupan spiritual pada fase ini memepunyai
ciri tersendiri. Konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan dan
kemewahan dunia berubah menjadi pembersih jiwa, pensucian hati, dan pemurnian
kepada Allah. Tampak bermunculan teori tentang jenjang-jenjang yang harus
ditempuh (al-maqomat) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat
tertentu (al-hal). Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan
beribadah pada fase ini mendapatkan julukan al-Sufiyah atau al-Mutashawwifah.
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah
satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infus dari tiga faktor. Pertama,
adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup keplesiran yang diperagakan
oleh umat islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Sebagai bentuk
reaksi terhadap sikap yang sekular dan gelamor dari kelompok dinasti penguasa
di istana. Mereka lakukan protes dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan
spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini
adalah Hasan al-Bishri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam
kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin khouf dan roja’, Rabi’ah
al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-Hubb serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H).
Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi
maksimal terhadap radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang
ditimbulkannya. Hal itu menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan
kesalehan dan ketenangan rohaninya, terpaksa mengambil sikap menjahui kehidupan
masyarakat ramai. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori
oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).
Ketiga, nampaknya karena corak kodifikasi
hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi
etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya. Para zuhhad tergugah untuk
mencurahkan lebih perhatiannya akan moralitas, sehingga memacu untuk
meningkatkan konsep sentral hubungan manusia dengan tuhan. Mereka berusaha
mencapai ma’rifat Allah, yang merupakan kebahagiaan paripurna yang mungkin
dicapai oleh manusia di dunia ini.
Pada fase ini
berkembang pembahasan tentang ma’rifat serta perangkat metodenya sampai
pada tingkat fana’, ittihad dan hulul. Diantara tokoh pada fase ini adalah Abu
yazid al-Busthami (w. 263 H) dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits Abu
Manshur al-Hallaj (244-309 H) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan konsep
hululnya. Selama kurun waktu itu, tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih
spesifik seperti konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq.
3. Fase ketiga
Sejak munculnya doktrin fana dan ittihad, terjadilah
pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf
bertujuan hanya untuk mencintai serta dekat dengan-Nya, tujuan itu telah menaik
lagi pada tingkat penyatuan diri dengan tuhan. Hal itu disebabkan mulainya
unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain dari fase ini
adalah timbulnya ketegangan kaum ortthodoks dengan kelompok sufi berpaham
ittihad di pihak lain.
Akibat lanjut dari benturan pemikiran itu, tampil
al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaidi menawarkan konsep-konsep tasawuf yang
kompromistis antara sufisme dan orthodoktsi. Gerakan ini bertujuan menjembati
antara keadaran mistik dengan syari’at Islam. Gerakan orthodok sufisme mencapai
puncaknya pada masa al-Ghozali (w. 503 H), dengan upayanya mengikis semua
ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Pada fase ini disebut sebagai fase
konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasar aslinya yaitu al-qur’an dan
al-Hadits atau disebut dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang sesuai dengan
tradisi Nabi dan sahabatnya.
Sejalan dengan berjalannya waktu, perkembangan tasawuf
tidak bisa terhindar dari sentuhan dengan unsur-unsur lain di luar Islam,
setidaknya di kawasan tertentu telah menggunakan terminologo filsafat. Apabila
pada mulanya konsep tasawuf bercorak amali, maka berkembang lagi dengan
munculnya tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan
rasio (akal).
Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan
antara tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti
konsep wahdatul wujud, yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan
selain Allah hanya gambar yang bisa hilang
dan sekedar sangkaan dan khayali. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah
Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal Ibnu Arabi (560-638 H).
4. Fase keempat
Pada periode ini, tasawuf mengalami kemunduran
dan bahkan stagnasi. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf
yang baru. Yang tertinggal hanyalah komentar-komentar dan resensi terhadap
karya-karya lama. Di sisi lain, para pengikut tasawuf sudah lebih cenderung
kepada penekanan perhatian terhadap berbagai bentuk ritus dan formalisme yang
tidak terdapat dalam substansi ajaran.
Kemandegan tasawuf sebagai ilmu moralitas,
nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti dunia pemikiran Islam
pada waktu itu. Selanjutnya perkembangan tasawuf sudah berganti tampilan, yaitu
dalam bentuk tarekat sufi yang lebih menonjolkas aspek ritus dan pengalamannya.
Faktor Terjadinya Periodisasi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kemunculan tasawuf serta mempengaruhi
perkembangannya kelak. Sehingga perkembanga tasawup dapat
diklarifikasikan menjadi beberapa fase.
a. Al-qur’an dan Nabi Muhammad
Al-qur’an
merupakan adalah pegangan hidup dan Nabi
Muhammad sebagai panutan bagi seluruh umant manusia, khususnya umat Islam.
Segala tindakan nabi, akan selalu diikuti oleh pengikutnya. Banyak tindakan dan
ucapan Nabi SAW yang mecerminkan kehidupan asketis dan kesederhanaan. Pola
hidup seperti ini yang mendorong sahabat nabi bersikap asketis dalam kehidupannya
dan kemudian dalam perkembangannya disebut tasawuf.
b.
Kondisi Sosial Politik
Term tasawuf mulai dikenal ketika kondisi
sosial masyarakat pada waktu itu dalam keterpurukan dan kering dari nilai-nilai
moralitas. Kehidupan para penguasa dan hartawan saat itu lebih prafon dan
gelamor, sehingga mendorong sebagai orang yang berpegang teguh pada kesalehan
hidup untuk menjauhi kehidupan masyarakat ramai dan mengkhususkan diri
beribadah.
c. Pertukaran Budaya
Sejalan dengan
meluasnya wilayah Islam dan teraturnya hubungan antara kaum muslim dengan
umat-umat non muslim lainnya, maka tidak dapat dihindari terjadinya proses
diffusi antara dua kebudayaan yang berbeda. Dan
mulai itu teori-teori dalam tasawuf memiliki corak baru. Tasawuf yang awalnya hanya
bercorak asketis atau kesalehan pribadi berkembang menjadi corak pemikiran, yang
dikenal dengan tasawuf falsafi.
Pada awal
munculnya, tasawuf meruakan paham peghayatan di muka membentuk sikap hidup dari
masing-masing pribadi muslim dan keahlian dalam hidup, yang berwujud keinginan
kuat untuk mengamalkan keseluruhan tuntutan ajaran Islam dan ibadah itu
dirasakan secara perasaan ketuhanan yang sangat mendalam.
Namun, seiring
dengan meluasnya wilayah Islam, sentuhan dengan kebudayaan lain tidak
terhindarkan. Hal itu mengakibatkan tasawuf berakulturasi dengan unsur-unsur
dari kebudayaan dan peradaban di luar Islam.
Dari materi
yang penulis bahas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf mempunyai perkembangan
tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf bermula dari gerakan asketis yang
selanjutnya menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis atau pasti, perkembangan
tasawuf dapat dilihat dari beberapa faktor dan batasan-batasan waktu dalam
rentang sejara.
DAFTAR PUSTAKA
Massignon, Louis & Abdur Raziq, Mustafa, Islam
dan Tasawuf. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2001)
Nasirudin, Mohammad, Pendidikan Tasawuf.
(Semarang: RaSAIL Media Group. 2010).
Siregar, Prof. H. A. Rivay, Tasawuf dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1999).
KOMENTAR